Belum lama ini, kita dikagetkan dengan pemberitaan belasan professor di Indonesia melakukan plagiasi dalam hasil karya ilmiahnya. Kita juga seperti ditampar saat dua peneliti asal Republik Ceko, Vit Machacek dan Martin Srholec yang menganalisis jurnal-jurnal ilmiah yang diterbitkan sepanjang periode 2015-2017 menemukan negara kita menempati peringkat kedua dalam hal ketidakjujuran akademik dengan nilai 16,73%, hanya sedikit di bawah Kazakhstan yang mencatat 17%. Peringkat ketiga ditempati oleh Irak dengan 12,94%.
Belum lama ini, Kita juga dikejutkan dengan berbagai ragam jenis kecurangan yang dilakukan lulusan SMA pada saat UTBK. Ada perjokian di UTBK yang mengakui mereka akan mendapatkan bayaran sampai 100 juta jika berhasil. Ada yang membuat alat canggih seperti spy, alat rekam dengan penghubung seperti telepon di kacamata. Bahkan ada yang menyimpan alat rekam di behel gigi.
Juga ada berita viral terkait kasus dokter PPDS yang melakukan pemerkosaan terhadap anak pasien juga membuat miris hati kita dan beberapa kasus lain yang serupa. Dokter yang sudah melakukan sumpah janji untuk melindungi dan menyelamatkan manusia malah justru menjadi pelaku kejahatan terhadap manusia lain.
Berbagai kasus diatas memberikan gambaran bahwa karakter SDM di negara kita adalah melakukan segala cara instan untuk mencapai tujuan.
Lalu, apa menjadi akar dari semua kasus yang mencoreng kualitas SDM kita?
Dari perspektif internal manusia, akar dari semua kasus tersebut didasari oleh rendahnya pengendalian diri dalam mengembangkan berbagai tindakan sebagai usaha mencapai tujuan atau keinginan. Secara alami setiap manusia memiliki berbagai macam keinginan, dalam proses pencapaiannya dipengaruhi oleh kemampuan pengendalian diri untuk mengatur pikiran, emosi, dan perilaku. Jika pengendalian diri benar maka akan memperkuat integritas seseorang, sebaliknya saat tanpa kendali maka bisa disebut individu yang tidak memiliki integritas. Kurangnya integritas ini, jika dipadukan dengan rendahnya kemampuan memahami sudut pandang orang lain akan menyebabkan rendahnya empati atau kurang mampu memahami kondisi orang lain.
Kapan Kita Mengembangkan Keterampilan Pengendalian Diri?
Saat lahir bayi belum memiliki pengendalian diri karena bagian otak yang mengatur emosi atau perasaan lebih dulu terbentuk, sedangkan bagian otak untuk berpikir rasional belum sempurna terbentuk, sehingga pikiran bayi belum bisa mempengaruhi perasaan bayi. Dalam kondisi tersebut bayi belum memahami arti “nanti”, semua yang diinginkan harus diperoleh saat itu juga dengan senjata tangisan. Dengan bertambahnya usia, kemampuan berpikir semakin sempurna, sehingga pikiran dan perasaan bisa saling mempengaruhi.
Disisi lain, yang membedakan manusia dan binatang adalah kemampuan berpikirnya. Binatang saat melakukan sesuatu seperti saat makan, tak akan berpikir apakah makanan ini milik binatang lain, halal, baik untuk mereka, sehat atau tidak. Tapi manusia yang mendapatkan pengasuhan dan stimulasi pendidikan yang baik dan sesuai akan berkembang menjadi manusia yang memiliki kemampuan berpikir analisis mengenai apa yang akan dilakukannya serta dampak dari perbuatannya. Inilah esensi manusia yang beradab. Selalu berpikir sebelum berbuat, hati-hati, dan mempertimbangkan berbagai aspek atau kemungkinan dampak kedepan. Kekuatan berpikir untuk mempertimbangkan berbagai hal serta dampaknya, bukan hanya membentuk integritas atau moral, tapi juga untuk mengembangkan kreativitas, serta kekritisan. Hasil PISA 2022 menunjukan keterampilan kreatifitas siswa Indonesia termasuk kelompok terendah di dunia. Hanya 5% siswa Indonesia yang mampu berpikir kreatif kategori mahir. Padahal, kreativitas adalah keterampilan penting pada abad ke-21 yang akan menjadi modal menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Di sisi yang lain, banyak guru dan orang tua sejak anak masih bayi tanpa sengaja mematikan beragam kemampuan berpikir anak, dengan selalu memberikan perintah atau arahan dari sisi mereka, tidak mendorong anak untuk mengembangkan beragam keterampilan berpikir, dan bahkan tidak memerdekakan dalam belajar sesuai minat anak.
Kualitas manusia pada usia dewasa merupakan gambaran perjalanan pengasuhan dan pendidikan yang dilaluinya sejak usia dini, karena perkembangan dan daya serap otak yang sangat tinggi di periode tersebut. Pendidikan Anak Usia Dini disebut sebagai masa paling penting dan genting dari seluruh siklus hidup. 50 persen kemampuan belajar dikembangkan di usia 4 tahun dan 30 persen berkaitan dengan pengendalian diri dalam konteks pengelolaan perasaan. Saat bayi, dimana aspek perasaan masih mendominasi dibandingkan kemampuan berpikir, inilah masa penting untuk mengenalkan perasaan serta menanggapinya secara positif. Di periode ini orang tua atau pengasuh utama bayi atau guru harus tanggap (responsif) atas seluruh ekspresi, komunikasi, dan perilaku bayi yang didasari oleh apa yang dirasakan. Saat bersamaan bayi juga dapat distimulasi kemampuan berpikir rasionalnya berdasarkan perasaan yang muncul. Misal, saat bayi menangis karena hawa panas, orang tua dapat mengatakan “baju adik basah, karena panas sekali cuacanya, adik ganti baju dulu ya, supaya adik nyaman”. Pada usia 2-3 tahun hubungan dua arah antara perasaan dan kemampuan berpikir terus menguat dan ingatan emosional mulai berfungsi yang kemudian berkembang menjadi insting untuk merespon situasi-situasi yang serupa. Pada akhir usia dini (7-8 tahun), anak sudah dapat dikenalkan mengenai nilai dan moral melalui contoh perilaku dari orang dewasa di sekitar anak, bukan melalui nasihat. Misal melatih anak menghormati orang lain, harus diawali dengan orang tua atau guru memberi contoh bagaimana menghormati anak dan orang di sekitar. Ketika sejak kecil anak dibiasakan mengembangkan hubungan timbal balik antara perasaan dan pikiran, idealnya setiap stimulus perasaan sudah ditanggapi dengan berpikir rasional. Jika saat ini kita melihat banyak perilaku orang dewasa yang reaktif, bersumbu pendek, tidak berpikir panjang, kita perlu berefleksi terhadap kualitas pengasuhan dan pendidikan anak usia dini
UU Sisdiknas memang telah mengamanatkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) mulai dari 0 hingga 6 tahun. Di sisi yang lain, data menunjukkan Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD untuk usia 3-6 tahun hanya 49.53% (Kemendikbud, 2024). Apalagi APK usia bayi yang mengakses layanan pendidikan hanya 13.56%. Ada yang berpendapat bahwa stimulasi pendidikan serta pemenuhan kebutuhan dasar anak di awal kehidupan menjadi tanggung jawab orang tua, menjawab pertanyaan tersebut kita perlu berefleksi, apakah sistem negara sudah mempersiapkan orang tua untuk mampu menjadikan rumah sebagai layanan PAUD Informal dengan orang tua sebagai pendidik yang berkualitas?. Jawaban pertanyaan tersebut dapat tergambar dari hasil riset yang melibatkan ratusan ribu orangtua dari anak di layanan PAUD yang dilakukan penulis pada tahun 2021 bahwa kapasitas orang tua berkategori rendah dalam pemenuhan kebutuhan holistik anak melalui layanan yang terintegrasi, dengan nilai rata-rata hanya 53.6 (Herawati, N. et all 2021).
Sementara itu, sebagai contoh Departemen Pendidikan Negara Bagian Florida Amerika telah merancang capaian perkembangan emosi anak sejak usia 0 bulan hingga usia prasekolah. Panduan tersebut merinci tahapan perkembangan sosial-emosional secara sistematis dan memberikan petunjuk yang sangat konkrit tentang peran guru dan orang tua dalam mendampingi proses tersebut. Orang tua dan guru para bayi dan balita didorong untuk mengenali beragam emosi yang dirasakan bayi dan anak, memberi respons yang konsisten dan penuh kasih, serta menciptakan rutinitas yang dapat diprediksi agar anak merasa aman dan terhubung secara emosional. Ini adalah contoh kebijakan pendidikan yang tidak hanya bersifat teknokratis, tetapi berakar pada pemahaman mendalam tentang ilmu perkembangan anak.
Orang tua dan guru PAUD yang berkualitas adalah kunci
Khususnya guru PAUD, bukan sekadar mendidik anak mengenal huruf, angka, dan warna tetapi figur profesional yang dibekali dengan pengetahuan perkembangan anak, keterampilan untuk tanggap terhadap kebutuhan dasar anak, dan kemampuan membangun interaksi yang bermakna sejak anak masih bayi. Hasil studi nasional yang melibatkan lebih dari 117.000 guru PAUD perwakilan semua provinsi mengungkapkan bahwa rata-rata kapasitas guru PAUD yang mampu memenuhi kebutuhan Holistik anak dengan layanan yang terintegrasi masih tergolong rendah (58,5%). Bahkan, hampir 30% dari guru PAUD belum pernah mengikuti pelatihan pengembangan diri, suatu kenyataan yang memprihatinkan jika kita mengingat besarnya tanggung jawab mereka dalam mendukung pembentukan fase paling krusial dan fondasi dari pembentukan SDM yang berkualitas. Lebih dari itu, profesi guru PAUD belum diakui secara formal dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, yang menandakan masih adanya ketimpangan struktural dalam penghargaan dan dukungan terhadap peran strategis mereka.
Berdasarkan situasi ini, kita tidak bisa berharap perbaikan karakter generasi mendatang datang dengan sendirinya. Jika kita ingin mencegah anak-anak Indonesia tumbuh menjadi generasi yang menghalalkan segala cara, tidak memiliki empati, dan integritas rendah, maka tidak ada jalan lain selain membenahi fondasi pembangunan manusia, yaitu di usia dini. Kita perlu investasi sistematis dan menyeluruh pada pendidikan anak usia dini, mulai dari penguatan kapasitas pengasuhan di rumah, peningkatan kompetensi dan pengakuan profesi pendidik PAUD, hingga penyesuaian kebijakan dan regulasi yang berpihak pada pemenuhan hak anak.
Refleksi Bersama
Sesungguhnya, kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan tidak ditentukan di ruang kelas pendidikan tingkat tinggi, melainkan di tahun-tahun awal kehidupan, di rumah dan di layanan PAUD, serta dibentuk secara utuh dengan memberi contoh melalui perilaku orang dewasa yang memiliki empati, integritas, dan kemampuan berpikir kritis. Ini bukan sekadar investasi pendidikan, melainkan investasi peradaban. Membangun manusia Indonesia yang berintegritas, kritis, dan berempati tidak bisa dimulai saat individu sudah dewasa, melainkan harus ditanamkan sejak dini. Berbagai kegagalan yang tampak hari ini, dari dunia akademik hingga etika profesi, menunjukkan betapa rapuhnya fondasi karakter yang kita bangun. Oleh karena itu, menjadikan pendidikan anak usia dini sebagai prioritas bukan sekadar strategi pendidikan, tetapi strategi kebangsaan. Kita butuh keberanian politik, keberpihakan kebijakan, dan keseriusan investasi untuk memastikan setiap anak Indonesia tumbuh dalam lingkungan yang menstimulasi pikiran, mengelola diri dan perasaan, berempati, dan menguatkan nilai-nilai moral dan integritas. Di sinilah titik awal perubahan besar bangsa bisa benar-benar dimulai.