Skip to content

Memaknai “Kemerdekaan” dari Perspektif PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)

Nita Priyanti

Memaknai “Kemerdekaan” dari Perspektif PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)

Setiap tanggal 17 Agustus, kita kembali memperingati kemerdekaan Republik Indonesia dengan gegap gempita. Namun, dibalik semarak upacara dan parade, kita jarang bertanya: apakah makna kemerdekaan telah sungguh hadir dalam kehidupan anak-anak Indonesia terutama mereka yang berada di usia paling dini?

Kemerdekaan bukan hanya soal terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga pembebasan dari ketertinggalan, kebodohan, dan ketidakadilan struktural. Jika definisi itu kita pegang, maka Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) semestinya menjadi garda terdepan dalam mengisi dan menjadi fondasi strategi bangsa yang telah merdeka untuk menjadi bangsa maju dengan SDM yang mumpuni di bidangnya. Perubahan besar terjadi pada tahun ini dimana perencanaan pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJMN 2025-2029 menyatakan wajib belajar 13 tahun, melalui 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, dan 3 tahun di SMA, dan 1 tahun pra SD, merupakan satu bentuk keberpihakan pada PAUD yang perlu kita apresiasi. Namun, kita juga perlu waspada bahwa kebijakan ini berpotensi multitafsir; pertama dimaknai bahwa kita hanya perlu fokus ke usia 5-6 tahun sehingga akan dimungkinkan meninggalkan usia yang lebih muda (0-5 tahun) atau dapat dimaknai secara positif bahwa wajar 13 tahun adalah kebijakan yang dapat memastikan akses terhadap PAUD untuk semua anak usia dini di Indonesia.

PAUD adalah intervensi strategis untuk memutus mata rantai kemiskinan antar generasi. Anak-anak dari keluarga miskin yang mendapat layanan PAUD berkualitas memiliki peluang lebih besar untuk sukses di pendidikan formal. Ini akan memperkuat mobilitas sosial dan menjadi fondasi keadilan dalam jangka panjang.

Usia dini, yaitu 0 hingga 6 tahun, merupakan periode krusial dalam perkembangan manusia. Pada fase ini, otak anak berkembang pesat, membentuk fondasi awal bagi kemampuan belajar, berpikir, berinteraksi, dan mengelola emosi. Para ahli sering menyebut tahap ini sebagai the golden age, yakni masa dengan potensi perkembangan yang sangat tinggi jika diberi stimulasi yang tepat. Meskipun perkembangan tetap berlanjut di tahap usia berikutnya, peluang untuk membangun dasar-dasar penting bagi keberhasilan jangka panjang paling efektif terjadi pada periode ini,

Terlepas dari kebijakan wajar 13 tahun yang cukup menjanjikan jika dimaknai secara positif, mengacu pada fakta di lapangan masih jauh dari harapan. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2024) menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD hanya sekitar 36,03% persen anak usia dini yang mengakses layanan PAUD yang memenuhi standar mutu. Mayoritas satuan PAUD dikelola masyarakat secara swadaya dengan dukungan minimal dari negara. Banyak guru PAUD belum tersertifikasi atau tidak mendapatkan pelatihan berbasis pedagogi anak usia dini.

Lebih ironis lagi masih banyak lembaga PAUD yang menerapkan capaian akademis terlalu dini. Anak-anak ditargetkan sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung, bahkan sebelum mereka cukup usia untuk memahami konsep-konsep dasarnya. Bimbel/bimba (bimbingan belajar) untuk anak usia dini makin menjamur, daripada layanan PAUD. Bermain, yang seharusnya menjadi metode utama pembelajaran anak usia dini, justru dianggap sebagai kegiatan selingan atau pengisi waktu.

Padahal, bermain adalah cara utama anak belajar tentang dunia. Melalui bermain, anak belajar menyelesaikan masalah, bekerja sama, dan mengekspresikan perasaan. Jika dipandu dengan pendekatan pembelajaran mendalam yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan, bermain akan menjadi landasan kuat bagi perkembangan nalar, empati, dan kreativitas anak sejak dini. Ketika tekanan akademik hadir terlalu awal, kita bukan hanya mengingkari prinsip-prinsip perkembangan anak, tetapi juga merampas masa kecil mereka yang seharusnya penuh eksplorasi dan kebebasan untuk bermain dan belajar dalam satu waktu.

Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membebaskan, bukan mengekang. Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk menuntun kodrat anak agar tumbuh dan berkembang secara lahir dan batin. Ia menekankan pentingnya menghormati ritme perkembangan anak serta memberi ruang bagi kemerdekaan batin mereka.

Filosofi “Tut Wuri Handayani” mencerminkan keyakinan bahwa anak membutuhkan kepercayaan, bukan tekanan. Namun dalam praktik PAUD saat ini, semangat itu belum sepenuhnya terwujud. Alih-alih membebaskan, banyak pendekatan pendidikan justru membatasi ruang eksplorasi dan menumpulkan imajinasi anak.

Tokoh pendidikan lain seperti Mohammad Syafei, pendiri INS Kayutanam, menekankan pentingnya membentuk manusia merdeka, yakni individu yang mampu berpikir kritis dan bertanggung jawab. Prinsip itu harus sudah ditanamkan sejak PAUD, bahwa anak bukan “wadah kosong” yang harus diisi, tetapi subjek aktif dalam proses belajar.

Sayangnya, sering kali pengelola pendidikan memperlakukan anak seperti “produk” yang harus dicetak seragam, bukan sebagai individu yang unik dan otonom. Padahal, kita semua menginginkan tumbuhnya generasi yang inovatif, mandiri, dan kreatif. Namun, harapan tersebut sulit tercapai jika sejak awal anak-anak justru dibentuk dalam pola yang menekan dan menyeragamkan dengan mengabaikan keunikan anak. Sudah saatnya kita meninjau kembali pendekatan yang digunakan agar lebih menghargai keunikan dan potensi setiap anak.

Potret Kesenjangan dan Tantangan Struktural

Salah satu masalah mendasar dari layanan PAUD di Indonesia adalah ketimpangan struktural. Kualitas layanan sangat bervariasi, tergantung pada lokasi geografis dan kemampuan ekonomi orang tua. Di kota besar, akses terhadap PAUD yang bermutu lebih mudah. Sementara di daerah tertinggal, anak-anak seringkali tidak memiliki pilihan selain lembaga PAUD yang minim sarana dan tenaga pendidik yang tidak profesional.

Kesenjangan ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan pendidikan, tetapi juga memperkuat siklus ketimpangan sosial. Anak-anak dari keluarga miskin cenderung mengakses layanan PAUD dengan mutu yang belum memadai, yang pada akhirnya berdampak pada kesiapan mereka memasuki jenjang pendidikan dasar. Kondisi ini memperbesar risiko ketertinggalan secara akademik maupun sosial, yang pada gilirannya akan berdampak pada kualitas hidup mereka di masa depan.

Masalah lainnya adalah rendahnya pengakuan terhadap profesi guru PAUD. Banyak guru PAUD mendapatkan insentif jauh dibawah UMR, bahkan dalam beberapa kasus tidak dibayar sama sekali. Profesi ini kerap dianggap “sampingan” atau sekadar pekerjaan sukarela perempuan. Padahal, mereka memegang peran sentral dalam tahap pembentukan fondasi karakter dan kecerdasan anak.

PAUD adalah Pemenuhan Hak Anak dan Investasi Masa Depan Bangsa

Pentingnya PAUD bukan hanya menyangkut aspek akademik atau perkembangan anak secara individual, tetapi merupakan isu strategis dalam pembangunan nasional. Kajian dari lembaga-lembaga internasional seperti UNESCO (2015) dan UNICEF (2019) menegaskan bahwa pendidikan anak usia dini merupakan fondasi utama dalam pembangunan berkelanjutan. Keduanya merekomendasikan agar negara-negara menjadikan PAUD sebagai prioritas kebijakan, karena kontribusinya terhadap peningkatan kesetaraan, pengurangan kemiskinan, serta hasil belajar jangka panjang.

Sementara itu, penelitian ekonomi oleh peraih Nobel, James Heckman (2006), menunjukkan bahwa investasi pada PAUD memberikan return on investment (ROI)/ pengembalian investasi paling tinggi dibanding jenjang pendidikan lainnya. Dampaknya terlihat dalam peningkatan produktivitas tenaga kerja, penurunan tingkat kriminalitas, dan perbaikan indikator kesehatan masyarakat. Dengan kata lain, membangun sistem PAUD yang kuat adalah strategi cerdas untuk menyiapkan masa depan bangsa secara sosial dan ekonomi.

Tersedianya kebijakan wajar 13 tahun dan implementasi layanan PAUD membutuhkan langkah – langkah strategis yang konkrit, berikut ini empat rekomendasi aksi nyata dalam usaha memastikan semua anak Indonesia memiliki akses terhadap layanan PAUD, yaitu:

  1. Pemerataan akses layanan PAUD bermutu, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Saat ini, masih ada kesenjangan besar antara kota dan desa dalam hal akses dan mutu layanan PAUD. Pemerintah perlu hadir lebih aktif, bukan hanya mengandalkan inisiatif masyarakat.
  2. Peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru PAUD. Tidak cukup hanya merekrut guru, tetapi harus memastikan mereka memiliki pelatihan pedagogi yang sesuai serta jaminan penghidupan yang layak. Profesi guru PAUD harus ditempatkan sebagai profesi strategis, dengan status dan penghargaan yang setara dengan guru jenjang lainnya.
  3. Menyebarluaskan kurikulum PAUD yang menekankan bermain yang bermakna, bertanya, bereksplorasi dengan penuh kesadaran. Kurikulum PAUD harus berpihak pada anak, bukan pada ambisi orang dewasa. Kurikulum yang baik membangun rasa ingin tahu dan kecintaan terhadap proses belajar, bukan sekadar mengejar capaian akademik dini.
  4. Pelibatan orang tua sebagai mitra utama pendidikan. Rumah dan sekolah adalah dua lingkungan utama yang membentuk anak. Tanpa keterlibatan aktif keluarga, pendekatan PAUD tidak akan optimal. Perlu ada pelatihan orang tua, komunitas belajar keluarga, serta kampanye publik untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap pentingnya PAUD.

Merayakan kemerdekaan Bangsa dimulai dari  memberikan hak Pendidikan pada anak usia dini

Indonesia tidak akan benar-benar merdeka selama jutaan anak usia dininya masih tumbuh dalam sistem yang belum memanusiakan mereka. Kemerdekaan bermain harus dimulai dari sini dari ruang-ruang PAUD, dari pelukan pertama ibu guru, dari tawa anak-anak yang bebas belajar melalui bermain yang bermakna, berkesadaran, dan menggembirakan (BBM).

Peringatan Hari Kemerdekaan bukan hanya momen mengenang sejarah, tetapi peluang merefleksikan masa depan. Kita harus berani bertanya: untuk siapa kemerdekaan itu? Jika jawabannya adalah untuk semua warga negara tanpa terkecuali, maka kita wajib menjamin bahwa setiap anak, sejak usia dini, mendapat hak untuk belajar dengan bahagia dan bermakna.

Sudah saatnya negara menjadikan PAUD sebagai agenda utama pembangunan nasional, bukan sekadar pelengkap dalam sistem pendidikan formal. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara pernah berkata, “Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan pendidikan adalah  alat untuk mencapai kemerdekaan itu.” Maka, mari pastikan alat itu bekerja sejak dini. Saatnya kita menyadari:  PAUD bukan pelengkap, tapi fondasi yang menentukan arah masa depan bangsa. Saatnya kita bergerak bersama untuk memberikan hak anak usia dini, karena hanya mereka yang belum mampu memperjuangkan hak mereka. Kita yang harus memenuhi hak tersebut.

Tags

Hak Anak Kemerdekaan PAUD pendidikan anak usia dini