Keluarga adalah fondasi utama tumbuh kembang anak dan kemajuan masyarakat. Sebagai unit terkecil dalam kehidupan berbangsa, kualitas keluarga mencerminkan kualitas bangsa. Namun, banyak keluarga di Indonesia menghadapi tantangan serius—ketimpangan ekonomi, terbatasnya akses layanan, lemahnya keterampilan pengasuhan, hingga isu pemenuhan hak dan perlindungan anak dan perempuan. Berbagai tantangan tersebut seringkali menghambat peran keluarga untuk memastikan anak usia dini dalam keluarga dapat tumbuh dan berkembang optimal.
Mendorong ketangguhan keluarga menjadi krusial, khususnya dikaitkan dengan peran pengasuhan di masa awal kehidupan anak menentukan kualitas individu di usia produktifnya. Tumbuh kembang anak berlangsung paling pesat sejak janin hingga usia enam tahun yang memiliki kebutuhan-kebutuhan spesifik, untuk pemenuhannya membutuhkan peran besar dari Keluarga. Mengingat anak usia dini menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah, dalam lingkungan Keluarga. Apa yang dilakukan atau diabaikan orang tua pada masa ini berdampak besar pada anak, oleh karena itu penting bagi orang tua untuk memiliki kapasitas pengasuhan yang sesuai dengan kebutuhan anak usia dini. Orang tua yang memiliki kemampuan pengasuhan yang baik akan menjadi kontribusi utama dalam membentuk keluarga yang tangguh.
Lalu, pengasuhan seperti apa yang dibutuhkan anak usia dini?
Idealnya, keterampilan pengasuhan sudah dibentuk sejak pasangan memutuskan untuk memiliki keturunan, sehingga pasangan dapat mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan anak, sejak dalam kandungan. Misal, dalam mempersiapkan kehamilan pasangan harus memastikan istri tidak mengalami anemia atau gangguan kesehatan yang serius atau yang berpotensi menular dan mempengaruhi janin. Kebutuhan pengasuhan yang berkualitas pada periode awal kehidupan ini, menjadi salah satu komponen dalam kerangka kerja global perawatan dan pengasuhan anak usia dini (nurturing care framework) bersama dengan komponen kesehatan yang baik, gizi yang memadai, kesempatan untuk belajar sejak dini, serta komponen keamanan dan keselamatan. Kerangka kerja ini diluncurkan oleh WHO, UNICEF, dan Bank Dunia pada tahun 2018.
Pengasuhan yang berkualitas dalam kerangka pengasuhan untuk anak usia dini disebut sebagai pengasuhan responsif, yaitu pengasuhan yang “tanggap” dan mampu memberikan respon yang tepat terhadap kebutuhan dasar anak usia dini sejak dalam janin. Pengasuhan responsif juga menjadi kunci atau pembuka pintu bagi akses terhadap komponen lain, yaitu kesehatan, gizi, belajar sejak dini, hingga keamanan dan keselamatan.
Berikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua, dalam mendukung praktik pengasuhan responsif dalam Keluarga, yaitu:
- Menyediakan lingkungan yang stabil dan aman menjadi langkah awal untuk memastikan anak dapat tumbuh dengan sehat dan bahagia. Ini mencakup memberikan kasih sayang, perhatian, dan perlindungan, memastikan anak mendapatkan asupan gizi yang cukup, membiasakan pola hidup sehat, menjaga kesehatan anak secara rutin, serta menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan dan pengabaian. Rumah dan Keluarga harus menjadi tempat yang aman, baik secara fisik maupun emosional, agar anak merasa terlindungi dan dicintai.
- Pendekatan holistik dalam pengasuhan sangat penting untuk menguatkan ketahanan dan kesejahteraan anak. Pengasuhan yang memperhatikan berbagai aspek yang saling berkaitan seperti aspek fisik, kognitif, emosional, sosial, dan spiritual akan membentuk anak sebagai pribadi yang utuh. Anak yang tumbuh dalam pendekatan ini cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan kemampuan adaptasi yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
- Memberikan stimulasi yang tepat pada setiap tahapan perkembangan anak akan membantu anak mengembangkan berbagai potensinya dengan baik. Sebaliknya, perlakuan salah pada anak, akan membawa dampak negatif yang berkepanjangan dalam hidup dan perkembangan pribadi anak di periode usia selanjutnya. Berikut ini beberapa perkembangan yang akan muncul pada anak berbasis kelompok usia:
- Pada usia 0–2 tahun, pembentukan rasa percaya anak terhadap dunia dan orang-orang di sekitarnya, yang menjadi fondasi utama dalam membangun relasi yang sehat di masa depan.
- Pada usia 2–3 tahun, anak mulai mengembangkan kemandirian dan motivasi internal untuk belajar. Stimulasi yang tepat akan memperkuat kemampuan anak dalam mengambil keputusan dan menghadapi tantangan yang kemudian akan membentuk anak menjadi pribadi yang tangguh.
- Pada usia 3–6 tahun, stimulasi yang tepat akan membantu anak mengembangkan berbagai inisiatif, mengekspresikan pendapat, dan emosinya secara terbuka tanpa rasa takut dinilai salah. Kemampuan ini penting dalam membangun komunikasi dan relasi yang sehat dengan orang lain.
- Menerapkan keterampilan pengasuhan responsif melalui:
- Interaksi berbalas (serve and return interaction), yang bermakna, orang tua dan anak saling memberikan respon yang positif terhadap aksi yang dimunculkan salah satu pihak.
- Melatih disiplin positif, untuk mengelola perilaku anak tanpa menggunakan kekerasan. Misal pembiasaan makan dan tidur tepat waktu adalah bagian dari membentuk perilaku disiplin pada anak.
- Sikap positif terhadap semua situasi negatif yang mungkin terjadi dalam Keluarga. Sikap positif ini akan membangun optimisme dan semangat dalam keluarga.
- Melatih anak mengelola emosi, dimulai dengan pengenalan beragam jenis emosi yang dialami anak. Misal ketika anak menangis, orang tua dapat memberikan nama perasaan yang dirasakan anak, “adik kesal ya?”.
- Pembagian peran antara ayah dan ibu, yang seimbang dan saling mendukung dalam pengasuhan anak.
Mengidentifikasi faktor risiko dan faktor pelindung dalam mendukung ketangguhan keluarga
Selain penerapan pengasuhan responsif, mempersiapkan ketangguhan keluarga juga memerlukan keterampilan mengenali faktor risiko dan faktor pelindung yang ada dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Dua hal ini berperan penting dalam membentuk ketangguhan Keluarga dalam mencegah maupun mengatasi berbagai tantangan yang muncul.
Faktor risiko adalah kondisi atau keadaan yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya gangguan atau masalah pada anak maupun keluarga. Sebaliknya, faktor pelindung (protektif) adalah kondisi yang membantu keluarga atau anak berkembang secara optimal, atau mencegah dampak negatif dari faktor risiko yang dihadapi.
Beberapa contoh faktor risiko antara lain: ketidaksiapan menjadi orang tua, stres pengasuhan, tekanan ekonomi, konflik dalam keluarga, perceraian atau kehilangan anggota keluarga secara mendadak, kekerasan dalam rumah tangga, ketimpangan peran ayah dan ibu, disabilitas atau penyakit pada anak, penggunaan gawai yang berlebihan oleh anak dan orang tua, hingga paparan konten game dan media sosial yang tidak ramah anak. Semua ini berpotensi mengganggu perkembangan anak dan menurunkan kualitas generasi muda Indonesia.
Sementara itu, faktor pelindung mencakup hal-hal seperti: dukungan dari keluarga besar, komunikasi yang terbuka dan hangat antar anggota keluarga, keterampilan orang tua dalam mengelola stres dan memecahkan masalah, keterlibatan aktif ayah dan ibu dalam pengasuhan, kemudahan akses terhadap layanan kesehatan dan kesehatan jiwa, serta sistem dukungan yang tersedia di masyarakat, misal dari kader penggerak Masyarakat, tokoh agama/Masyarakat, serta sistem layanan yang tersedia terhadap beragam kebutuhan keluarga.
Peran ekosistem pendukung keluarga
Untuk membentuk ketangguhan Keluarga, penting disadari bahwa keluarga tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri. Dibutuhkan ekosistem pendukung atau enabling environment, suatu lingkungan sosial dan kelembagaan yang memperkuat peran keluarga dalam pengasuhan dan perawatan anak.
Ekosistem pendukung ini bisa berupa peran aktif dari ketua RT/RW, kader, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan relawan komunitas yang memberikan dukungan moral, sosial, dan praktis kepada keluarga. Selain itu, keberadaan layanan dasar seperti layanan kesehatan dan pendidikan, akses informasi, kunjungan keluarga, penyuluhan, pelatihan, hingga layanan konseling pengasuhan sangat penting untuk memperkuat kapasitas keluarga. Program-program yang memperkuat jejaring lokal, seperti kelompok ibu, kelompok pengajian, forum warga, atau jaringan keagamaan juga memiliki kontribusi besar. Mereka bisa menjadi bagian dari sistem perlindungan anak yang membantu memastikan pengasuhan dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi.
Tak kalah penting adalah membangun sinergi lintas sektor. Ekosistem komunitas perlu bekerja sama, tidak terpisah-pisah atau berjalan sendiri-sendiri. Dalam pendekatan Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif (PAUD HI), semua unsur, kesehatan, pendidikan, keluarga, dan perlindungan anak, harus terhubung dan saling mendukung. Dengan demikian, keluarga tidak hanya menerima layanan secara parsial, tetapi mendapatkan dukungan menyeluruh untuk memastikan anak tumbuh dan berkembang secara optimal.